RSS

Laporan Teori Psikososial Erikson

PSIKOLOGI PERKEMBANGAN
TEORI PSIKOSOSIAL ERIKSON



Arief Rahman Tori (12320341)
Retno Astuti (13320290)
Hilyah Kamilah (13320300)



PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

BAB I
TEORI PERKEMBANGAN ERIKSON

Erik Erikson lahir di Franfrurt Jerman, pada tanggal 15 Juni 1902 adalah ahli analisa jiwa dari Amerika, yang membuat kontribusi-kontribusi utama dalam pekerjaannya di bidang psikologi pada pengembangan anak dan pada krisis identitas. Ayahnya (Danish) telah meninggal dunia sebelum ia lahir. Hingga akhirnya saat remaja, ibunya (yang seorang Yahudi) menikah lagi dengan psikiater yang bernama Dr. Theodor Homberger. Erikson kecil bukanlah siswa pandai, karena ia adalah seorang yang tidak menyenangi atmosfer sekolah yang formal. Ia oleh orang tua dan teman-temannya dikenal sebagai seorang pengembara hingga ia pun tidak sempat menyelesaikan program diploma. Tetapi perjalanan Erikson ke beberapa negara dan perjumpaannya dengan beberapa penggiat ilmu menjadikannya seorang ilmuwan sekaligus seniman yang diperhitungkan. Pertama ia berjumpa dengan ahli analisa jiwa dari Austria yaitu Anna Freud. Dengan dorongannya, ia mulai mempelajari ilmu tersebut di Vienna Psychoanalytic Institute, kemudian ia mengkhususkan diri dalam psikoanalisa anak. Terakhir pada tahun 1960 ia dianugerahi gelar profesor dari Universitas Harvard (Desyandri dalam desyandri.wordpress.com).
Teori perkembangan atau teori psikososial Erikson merupakan perkembangan dari teori psikoseksual Freud. Erikson merupakan mahasiswa Freud. Mulanya Erikson seorang Freudian namun seiring perjalanan waktu Erikson tak sepenuhnya penganut freud, Menurut Erikson, fungsi psikoseksual dari Freud yang bersifat biologis juga bersifat epigenesis, artinya psikoseksual untuk berkembang membutuhkan stimulasi khusus dari lingkungan, dalam hal ini yang terpenting adalah lingkungan sosial, ia pun berpendapat bahwa manusia dalam tahap perkembangannya mengalami krisis-krisis (Desyandri dalam desyandri. Wordpress.com).
Ada delapan tahapan dalam tahap perkembangan menurut Erikson:
a. Tahap Pertama (Rasa Percaya versus Tidak Percaya)
Tahap ini mulai muncul pada bayi yang baru lahir hingga usia satu tahun. Ini merupakan tahap awal bagi bayi untuk mengenal egonya untuk berkembang dengan dunia sosial. Bayi mulai merasakan perhatian dan perlakuan yang diberikan oleh orang tunya. Ketika bayi merasa lapar, basah atu kedinginan, orang tua langsung menengok dan membuatnya keluar dari rasa tidak nyaman tersebut. hal itu membuktikan bahwa orang tua selalu ada ketika dibutuhkan. dengan begitu, bayi mampu memahami bahwa orang tuanya dapat diandalkan sehingga timbullah rasa percaya. Rasa percaya merupakan sebuah pengertian bahwa orang lain dapat diandalkan dan diprediksi (William,2007).  Namun dapat timbullah perasaan yang sebaliknya, yaitu rasa tidak percaya. Perasaan tersebut akan muncul apabila bayi merasa orang tuanya tidak dapat diandalkan, atau mungkin tidak pernah datang ketika dibutuhkan. Erikson menyarankan agar orang tua tidak terlalu cepat untuk menyapih bayinya. Karena jika hal itu terjadi, bayi akan merasakan perawatan yang tidak sesuai sehingga timbul rasa tidak percaya.
Menurut Erikson (dalam Willam, 2007) bayi juga harus memilki rasa tidak percaya, agar dapat percaya melalui kepekaan dan ketepatan. Apabila bayi hanya mengembangkan rasa percaya maka akan mudah ditipu. Namun, akan menjadi sesuatu hal yang penting untuk dimengerti apabila bayi memiliki rasa percaya diri yang lebih dari rasa tidak percaya. Karena hal itu dapat membuat bayi akan mengembangkan kekuatan inti ego pada periode ini, yaitu yang disebut harapan. Akan selalu timbul persaan berharap dalam setiap menerima atau menginginkan sesuatu. Harapan adalah sebuah keinginan atau pencapian yang sekalipun terdapat rasa frustasi, marah atau kecewa, hal-hal baik yang tetap akan terjadi di masa depan (William, 2007). Harapan akan membuat anak bergerak maju untuk menyambut tantangan-tantangan baru dari dunia luar.
b. Tahap Kedua (Otonomi versus Rasa Malu dan Ragu-ragu)
            Pada anak yang berusia 1-3 tahun sudah mampu memilih rangsangan yang diterimanya. Anak dapat memegang apapun yang diinginkan, dan melempar atau membuang yang tidak diinginkan. Hal ini menunjukan anak mulai melatih kehendaknya, tepatnya otonomi. Otonomi merupakan suatu kematangan biologis yang mengembangkan kemampuan anak untuk melakukan segala sesuatu dengan caranya sendiri. Anak sudah mulai berdiri dan berjalan sendiri, mampu menunjuk benda dengan jari-jarinya, memegang sendok atau garpu sendiri. Anak mulai meminta untuk diperbolehkan makan sendiri meskipun makanannya menjadi berantakan. Ketika anak mulai mendesak ingin makan sendiri, terkadang orang tua berusaha untuk mengatur tingkah laku anak, dan anak harus menurutinya. Peristiwa ini menunjukan bahwa orang tua menginginkan anak untuk hidup di masyarakat dengan menghargai keinginan orang lain, dapat menyesuaikan diri dengan aturan-aturan sosial.
            Menurut Erikson (dalam William, 2007) peristiwa atau konflik yang terjadi pada tahap ini sebagai bentuk otonomi versus rasa malu dan ragu-ragu. Otonomi merupakan kehendak anak untuk melakukan segala hal dengan caranya sendiri. Otonomi ini muncul dari dalam diri. Rasa malu dan ragu-ragu timbul dari kesadaran akan ekspetasi dan tekanan sosial. Bagi anak yang mampu menyeimbangkan rasio otonomi lebih dari rasa malu dan ragu-ragu, maka anak tersebut akan mengembangkan kekuatan ego dalam bentuk “kehendak” yang kokoh. Kehendak meruapakan kebulatan tekad yang tidak bisa dipatahkan untuk melatih pilihan bebas dan pengendalian diri. Jadi pada tahap ini anaklah mampu mengontrol rangsangan yang diterima serta memilki kehendak atas dirinya sendiri.
c. Tahap Ketiga (Inisiatif versus Rasa Bersalah)
Tahap ketiga ini muncul pada anak berusia 3-6 tahun. Menurut Freud anak pada usia ini tengah memasuki tahap falik. Tahap dimana anak mulai merasakan sensasi seksualnya untuk pertama kali. Selain itu, anak juga mulai tumbuh dalam keberanian, keingintahuan dan hasrat persaingan. Erikson menyebutkan mode utama di tahap ini adalah intrusi, berarti bergerak ke depan. Intrusi ini merupakan salah satu bentuk dari inisiatif. Lewat inisiatif, anak mulai membuat rencana, memiliki tujuan dan mempunyai semangan untuk mencapainya. Namun, masalah yang akan timbul dalam tahap ini apbila harapan dan rencana terbesar yang dimiliki anak hancur berantakan, karena tidak sesuai dengan norma atau aturan sosial yang berlaku. Anak akan memiliki rasa bersalah atas tindakan yang dilakukannya. Karena itu, anak mulai mengahayati aturan-aturan sosial dan mulai megendalikan diri.
d. Tahap Keempat (Industri Versus inferioritas)
Dalam tahap ini anak usia 6-11 tahun cenderung tenang dan stabil, tidak ada gejolak dalam insting maupun dorongan seperti halnya pada tahap falik. Meskipun tenang, tahap ini justru paling menentukan bagi pertumbuhan ego. Anak mulai belajar menguasai kemampuan kognitif dan sosial. Krisis yang muncul dalam tahap ini adalah industri vs inferioritas. Industri merupakan bentuk belajar anak dalam melakukan pekerjaan yang bermakna serta mengembangkan kekuatan ego. Bahaya di tahapan ini adalah perasaan berlebih-lebihan karena ketidaktepatan dan inferioritas. Anak memiliki perasaan rendah diri, merasa tidak mampu menyelesaikan konflik yang dihadapi pada tahap-tahap sebelumnya, sehingga anak merasa tidak percaya diri saat melakukan tugas-tugas baru. Kata Erikson, masalah di tahap ini akan membawa anak kepada penguatan ego yang disebut kompetisi, yaitu sebuah latihan intelegensi dan kemampuan menyelesaikan tugas, tanpa diganggu perasaan inferioritas.
e. Tahap Kelima (Identitas versus Kebingungan Peran)
Krisis identitas sering terjadi pada masa remaja. Remaja merasa impuls-impuls yang diterima tidak lagi menyatu dengan dirinya. Selain itu, pertumbuhan fisik yang sangat cepat pada masa pubertas dapat menumbuhkan rasa kebingungan identitas. Remaja mulai tidak percaya dengan dirinya sendiri, mulai ketakutan tidak terlihat baik atau tidak memenuhi harapan orang lain, dan khawatir dengan masa depannya. Mental remaja memang berkembang pesat, tetapi disatu sisi remaja juga mudah mudah terpengaruh dengan tawaran yang datang.
Pembentukan identitas merupakan proses yang terjadi di dalam ketidak sadaran. Remaja hanya menyadari kejadian pahit karena tidak mampu membuat komitmen. Remaja merasa terlalu banyak yang harus diputuskan segera, dan bahwa setiap keputusan mengurangi alternatif lain dimasa depan. Jadi, tugas utama  remaja adalah menemukan cara hidup dalam membuat komitmen yang permanen. Perjuangan di tahapan ini membawa pada kekuatan ego baru dalam bentuk kesetiaan, yaitu sebuah kemampuan untuk mempertahankan loyalitas yang sudah diniati sejak dulu.
f. Tahap Keenam (Keintiman versus Isolasi)
            Tahapan ini dapat disebut dengan tahapan dewasa muda. Di tahapan ini manusia mulai mendalami kapasitas mencintai dan memperhatikan orang lain. Tahapan ini juga masih menjadi tempat anak muda menemukan jati dirinya dengan cara melakukan percakan mengenai perasaan yang sesungguhnya, mengenai rencana, harapan dan cita-cita. Anak muda terlalu asik dengan tugasnya menyongsong masa denpan untuk mencapai keintiman. Keintiman yang rill adalah satu-satunya perasaan identitas yang masuk akal. Namun, apabila gagal mencapainya manusia akam mengalami isolasi. Tidak ada pasangan yang mengalami keintiman total, pasti ada yang mendapatkan pengisolasian. Apabila ada yang memiliki keintiman lebih dari isolasi maka kaum dewasa muda dapat mengembangkan kekuatan ego yang disebut cinta yang dewasa.
g. Tahap Ketujuh (Semangat Berbagi versus Penyerapan Diri dan Stagnasi)
Dalam tahapan dewasa ini manusia tidak hanya focus pada diri sendiri tetapi mulai peduli dengan membesarkan generasi selanjutnya. Menurut Erikson, manusia dewasa memasuki tahapan semangat berbagi versus penyerapan diri dan stagnasi. Semangat berbagi memiliki makna yang luas, bukan hanya mengacu pada memproduksi anak, tetapi juga memproduksi ide-ide dalam pekerjaan. Orang tua harus rela mengorbankan kebutuhan pribadi demi memperhatikan, melindungi, membimbing anaknya. Jika orang tua terlalu fokus dalam memuaskan diri sendiri maka akan mengalami stagnasi.
h. Tahap Kedelapan (Integritas Ego versus Keputusasaan)
            Harus ada banyak penyesuaian, baik fisik maupun sosial yang dilakukan oleh para lansia. Karena para lansia sudah tidak seaktif dulu. Tidak hanya penyesuaian dari luar saja tetapi pergulatan batin yang berpotensi mencapai kebijaksanaan. Pergulatan batin pada lansia dapat menumbuhkan kekuatan ego yang disebut kebijaksanaan. Pergulatan ini disebut dengan integritas ego versus keputusasaan. Terkadang lansia mengingat-ingat kembali hidupnya, apa yang telah dilakukannya, atau apakah hidupnya selama ini sudah bermakna. Dalam proses ini timbul rasa putus asa, merasa bahwa hidupnya dulu tidak sesuai keinginan, tapi apa daya semua telah berlalu.  Semakin para lansia mengahadapi rasa putus asa, akan semakin berusaha menemukan pengertian mengenai integritas ego. Integritas adalah perasaan yang berkembang melampaui diri bahkan mengutamakan ikatan-ikatan nasional dan ideologis (William, 2007).



BAB II
STUDI KASUS

a.       Kasus 1
Anak Tidak Mau Sekolah
Sudah hampir tiga minggu anak sulung saya, Melody “mogok” sekolah. Alasannya “Aku capek, Mami”. Cukup masuk akal juga sih, melihat jarak dari rumah ke sekolah yang cukup jauh dan melewati beberapa titik rawan macet sehingga ia harus bangun harus sangat pagi, dan paling lambat pukul 6 pagi harus sudah berangkat ke sekolah. Tidak jarang ia tertidur dalam perjalanan ke sekolah. Awalnya saya pikir hanya 2 atau 3 hari saja ia tidak mau bersekolah, tapi ternyata sudah lewat seminggu pun ia tetap ngotot tidak mau besekolah.
Saya lalu mencoba mengajaknya berbicara dari hati ke hati.
Melody: “Aku mau sekolah di rumah saja, Mami yang mengajariku. Di sekolah aku disuruh menulis melulu, aku tidak suka menulis, aku sukanya membaca”
Mami: “Kan di sekolah juga ada membacanya”
Melody: “Aku kan sudah bisa membaca dan menulis, buat apa belajar di sekolah lagi. Aku bosan. Aku mau belajar di rumah saja, kan Mami juga bisa ajarin aku”
Mami: “Melody tidak kangen sama teman-teman sekolah?”
Melody: “Kangen sih Mi, tapi kalau ketemu teman-teman kan tidak harus di sekolah, kita main aja ke rumah mereka.”
Mami: “Kenapa sih kok kamu tidak mau sekolah? Apa ada teman teman yang tidak baik sama kamu? Apa guru Melody jahat?”
Melody: “Tidak, semua baik sama aku, tapi aku bosan dan capek sekolah. Aku senangnya belajar di rumah sama Mami.”
Jawabannya selalu begitu terus, akhirnya saya putuskan untuk “break” sementara waktu sambil me-review apa sih sebenarnya yang dia cari, sambil saya ajari sendiri saat ia tidak bersekolah. Seminggu berlalu aku melihat kemampuan membaca dan menulis Melody berkembang sangat pesat. Demikian juga pengetahuan yang lainnya, seperti pengetahuan tentang alam, saat ia bertanya “Apa itu tsunami, Mami?” saya berusaha menjelaskan dengan gamblang dan memberikan contoh ketika tsunami menerpa. Lalu pada saat dia bertanya tentang asal-usul telur, bagaimana tumbuhan hidup selain menjelaskan, kami melakukan percobaan kecil tentang apa yang sedang kami bicarakan.
Lalu saya tergoda juga untuk mencoba beberapa soal pelajaran kelas 1 SD, ternyata Melody bisa menyelesaikannya dengan baik. Saya sadar, mungkin metode pembelajaran seperti ini yang Melody inginkan, pada saat benaknya dipenuhi dengan segala macam pertanyaan yang menurut sekolah “belum waktunya diajarkan”. Hal itu membuat rasa rasa ingin tahunya terbelenggu dan merasa bosan. Selain itu Melody adalah tipikal anak yang kalau belajar maunya guru itu ada di dekatnya, sehingga bila dia bertanya sang guru akan selalu siap menjawab pertanyaannya. Sementara di sekolah formal tentu saja tidak bisa seperti itu, karena satu guru harus “melayani” berapa belas, bahkan berapa puluh anak.
Akhirnya setelah berkonsultasi dengan beberapa teman, mengenai masalah mogok sekolah ini, saya dan suami memutuskan untuk menerapkan homeschooling, sambil menunggu Melody siap untuk kembali ke sekolah lagi. Kami tidak memberhentikan Melody dari sekolah TK-nya, karena ada kemungkinan ia punya keinginan untuk kembali bersekolah.
Ada terbesit bagaimana nanti SD kalau dia sudah telanjur masuk sekolah formal dan hal serupa ini berulang lagi. Saya dan suami sudah menyiapkan diri untuk menerapkan homeschooling. Karena yang utama bagi kami adalah kenyamanan dan keamanan si anak. Akan menjadi sesuatu sia-sia kalau kami memaksanya untuk melakukan sesuatu yang tidak disukai. Kami bukannya tidak menyekolahkan anak kami, mereka tetap bersekolah menimba ilmu sebanyak banyaknya tetapi dengan jalur yang berbeda. Toh tujuan akhirnya sama, mencerdaskan anak dan menjadikan anak lebih kompeten.
Saya jadi teringat akan sebuah pernyataan: Belajar apa saja yang diminati, belajar di mana saja yang disukai, belajar kapan saja diinginkan, belajar dari siapa saja yang mencerahkan. Karena belajar itu hak, bukan kewajiban. Belajar itu menyenangkan, bukan membebani. Dalam UUD 1945 juga disebutkan setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan, tidak disebutkan harus melalui institusi formal. Akhirnya hati saya dan suami menjadi lebih lega. Kami tidak terpaku akan paradigma sekolah harus di institusi formal, karena di rumah pun kita bisa menyelenggarakan pendidikan yang bermutu bagi anak-anak kita.
a.       Kasus 2
Berguna Bagi Sesama
Ketika masih bekerja aktif, DD adalah seorang pejabat yang seolah – olah akan menghabiskan waktu 24 jam sehari untuk menyelesaikan pekerjaannya. Ia tampak menyatu dengan jabatannya. Ia adalah jabatannya. Cita – citanya setelah pensiun kelak adalah menikmati hari tua bebas dari kejenuhan pekerjaan, tinggal disuatu daerah yang tenang dengan kebun – kebun hijau yang rindang dan sejuk.
Keinginannya tercapai. Setelah pensiun, selain memiliki sebuah rumah di Jakarta, ia juga memiliki sebuah rumah kebun di selatan Jakarta. Ia tinggal disitu dengan beberapa penjaga. Di tempat itu pula ia mengisi waktu dengan mengerjakan apa saja meskipun tidak produktif.
Tubuhnya yang dahulu gemuk, kini bertambah gemuk! Persendian lututnya menanggung beban berat, sehingga sedikit gontai ia berjalan. Tidak lebih dari satu tahun ia hidup di rumah kebun. Ia sudah tidak sanggup lagi dengan kehidupan yang sunyi dan sepi. Ia wanita karier yang sukses dalam pekerjaan dan keuangan. Bahkan kini setelah ia pensiun, ia mendapatkan apa yang ia idam – idamkan. Namun, ia tidak menikmati apa yang telah ia peroleh dan apa yang ia idamkan selama ini.
Sebagai seorang single woman, mantan pejabat, ia terhalang – halang oleh bayang – bayang masa lalunya dan keadaan sekarang yang dibatas – batasi. Ia tertolong oleh ajakan beberapa ibu lansia yang memintanya untuk ikut serta dengan kelompok sosial masyarakat, menyantuni panti – panti jompo.
Kini DD tampak menghabiskan waktunya dalam kelompok – kelompok lansia. Ia puas dan merasa berharga dapat berperan serta mengambil bagian dari kehidupan yang bermakna. Ia mendapatkan sesuatu yang baru. Ia merasa bahagia karena dapat membantu oorang lain yang membutuhkan di masa tuanya ini.

BAB III
TINJAUAN KASUS BERDASARKAN TEORI ERIKSON

Berdasarkan studi kasus 1, dapat dijelaskan bahwa anak tersebut, Melody, mengalami masalah pada masa perkembangan industry vs inferiority. Melody tidak ingin melanjutkan sekolahnya karena merasa bosan dengan hal – hal yang telah diajarkan di sekolah. Hal ini disebabkan karena kemampuan Melody yang melebihi anak – anak pada usianya.
            Ia sangat bersemangat untuk belajar namun, hal yang ia pelajari di sekolah dan kemampuan belajar Melody berbeda. Kemampuan belajar Melody telah lebih dari yang diajarkan di sekolah sehingga Melody merasa bosan dan tidak bersemangat lagi untuk bersekolah.
Dalam hal ini, orangtua berperan penting untuk memutuskan pilihan yang tepat untuk melanjutkan edukasi Melody. Apakah orangtua Melody akan tetap menyuruh Melody untuk melanjutkan sekolahnya secara formal, atau untuk sementara Melody break dari sekolah formal untuk sementara dan melanjutkan pendidikannya secara informal dirumah dengan melakukan homeschooling. Pada akhirnya, untuk sementara orangtua Melody memilih untuk melakukan homeschooling untuk memberikan pendidikan pada Melody.
Kemudian pada kasus kedua, dapat dijelaskan bahwa DD mengalami salah satu masa perkembangan yang dijelaskan dalam teori perkembangan erikson, yaitu mengenai integrity versus despair. Dalam tahapan ini DD bisa merefleksikan kehidupannya masa lalu. Bahwa ia telah melewati masa – masa sebelumnya dengan baik, sehingga ia dapat menikmati masa tuanya dan merasa puas dan bahagia atas tindakan – tindakan yang telah dilakukannya.

BAB IV
KESIMPULAN
Erikson merupakan murid Sigmund Freud, Erikson pun seorang Freudian. Namun seiring perjalanan waktu ia mengembangkan teori pisoksosial Sigmund Freud dengan tetap menghormati sebagai gurunya.
Teori perkembangan psikososial erikson dibagi kedalam delapan tahap, dari lahir sampai lansia. Dalam setiap tahapannya ia berpendapat bahwa manusia merasakan krisis pada dirinya selama tahapan perkembangannya.
Seperti kasus-kasus pada perkembangan manusia, dapat diketahui setiap manusia mengalami krisis- krisis. Ada yang berdampak secara positif ataupun negatif. Tetaplah lingkungan saling bersinergi untuk mendampingi dan memfasilitasi perkembangan manusia.



DAFTAR PUSTAKA
Crain, W. 2007. Teori  perkembangan Konsep dan Aplikasi. Penerjemah: Yudi. Edisi 3. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Santrock, J.W. 2012. Life Span  Development. Penerjemah: Benedictine Widyasinta. Edisi 13. Jakarta: Erlangga.
Sutarto, T.J. 2008. Pensiun Bukan Akhir Segalanya. Jakarta: Erlangga.

Sumber Lain:
Maya, S. 2013. Ketika Anak Saya Tidak Mau Sekolah. Dari http://theurbanmama.com/articles/ketika-anak-saya-tidak-mau-sekolah.html diunduh pada tanggal 22 Maret 2014 pukul 10.00 WIB.
Desyandri. 2014. Teori Perkembangan Psikososial (Erik Erikson). Dari http://desyandri.wordpress.com/2014/01/21/teori-perkembangan-psikososial-erik-erikson/ diunduh pada tanggal 21 Maret 2014 pukul 15.25 WIB.




  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS